BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat)
Selepas kenaikan harga
BBM, orang-orang miskin akan dibalsem. Dikasih BLSM (Bantuan Langsung Sementara
Masyarakat). Ini nama baru dari konsep lama: BLT. BLSM/BLT hanya semacam
painkiller. Orang miskin ditampar dan dipukuli lalu dikasih pereda rasa sakit.
Painkiller tidak menyembuhkan.
Kutipan diatas saya
ambil dari status facebook Farid Gaban, seorang jurnalis dan mantan redaktur
majalah Tempo dan Harian Republika, yang mengandaikan kenaikan harga BBM akan
menyebabkan rakyat seolah dihajar lalu pemerintah dengan ‘baik hati’nya
memberikan pereda nyeri berupa BLSM.
Salah satu yang bisa
kita buat perbandingan adalah bagaimana mencari solusi tepat untuk mengatasi
nyeri yang disebabkan oleh kanker. Seperti kita ketahui bersama bahwa
pasien-pasien kanker mengalami nyeri yang sangat hebat. Nyeri ini bisa berasal
dari kanker itu sendiri dan berasal dari pengobatan kanker yang digunakan.
Jadi, pengobatan (operasi, radiasi, kemo) yang digunakan untuk memerangi kanker
memiliki efek samping menimbulkan nyeri (peripheral neurophaty). Akibatnya,
terdapat pilihan dilematis apakah menghentikan pengobatan kanker yang diberikan
ataukah melanjutkan pengobatan dengan resiko nyeri yang ditimbulkannya ?
Parahnya lagi, dalam
sebuah penelitian dilaporkan bahwa nyeri yang dirasakan oleh pasien malah makin
menyebabkan pertumbuhan kanker karena nyeri menyebabkan peningkatan stress
pasien yang ditengarai menekan sistem imun dari pasien. Satu-satunya jalan
adalah memberikan pereda nyeri. Tetapi pemberian pereda nyeri ini bukan tanpa masalah.
Selain hanya berfungsi sebagai obat simptomatik (mengobati gejala), penggunaan
golongan opioid sebagai terapi standar nyeri kanker juga memiliki keterbatasan.
Berkembangnya acute tolerance (toleransi akut) menyebabkan
pasien kanker makin lama makin membutuhkan dosis obat opioid yang lebih besar.
Peningkatan dosis opioid mengakibatkan peningkatan efek sampingnya yang
bermacam-macam salah satunya adalah adiksi (ketergantungan).
Seperti itulah
gambaran singkatnya , lalu kemudian apa hubungannya dengan status mas Farid
Gaban mengenai BLSM sebagai anti nyeri ?. mari kita sama-sama melihatnya.
Jika mengandaikan
bahwa keuangan negara sedang digerogoti oleh sel kanker bernama korupsi dan
hutang negara yang menghasilkan kesakitan bagi negara/rakyat maka kita sudah
bisa memasang plot-plot cerita yang disesuaikan dengan skenario diatas.
Kebijakan pemerintah menghilangkan subsidi BBM, andaikan sebagai salah satu
jalan untuk mengobati kankernya (bisa juga dibaca kantong kering) keuangan
negara. Tetapi sayangnya bahwa kebijakan pengobatan ini memberikan efek samping
kenaikan harga barang kebutuhan rakyat yang menambah kesakitan mereka. Kenaikan
harga kebutuhan pokok membuat rakyat makin depresi dengan kondisi yang ada dan
tentunya makin memperparah kesakitan yang mereka alami. Belum lagi pengobatan
ini diterapkan, indikasi stress berjamaah sudah bisa dilihat. Sudjiwotedjo di
akun twitternya menuliskan bahwa :
‘Jika kesetresan
penumpang pesawat thp pramugari disusul kesetresan penumpang kereta thp
petugas,dll fenomena..ini sudah kesetresan kolektif’
Lalu menghadapi
kondisi ini pemerintah dengan ‘bijak’nya berencana memberikan anti nyeri, yang
disebut oleh mas farid sebagai BaLSem, bermerek BLSM yang konon kabarnya
diperoleh dari dana pinjaman luar negeri. Duh bukannya pinjaman ini juga salah
satu varian yang menyebabkan kanker keuangan negara ?.
Kemudian dalam
kebijakannya, pemerintah sepertinya kurang peduli bahwa anti nyeri bernama BLSM
ini memiliki kharakteristik yang sama seperti golongan opioid. Rakyat bisa
dipastikan akan mengalami toleransi akut terhadap besarnya dosis yang diberikan
oleh pemerintah. Mungkin awalnya Rp. 150.000,- per bulan cukup, tetapi lama
kelamaan pasti akan dirasa kurang oleh masyarakat sehingga memaksa pemerintah
harus meningkatkan jumlahnya. Akibat makin tingginya nilai BLSM, bisa
diprediksi menyebabkan rakyat suatu saat akan mengalami adiksi, sama persis
dengan obat opioid.
Dan karena anti nyeri
ini hanya bersifat sementara diberikan oleh pemerintah, maka ketika rakyat
telah mengalami adiksi, apakah pemerintah tega menghentikannya ? tega melihat
rakyat menjadi sakaw ? Bukankah ini sama saja dengan penyiksaan
terencana yang dilakukan oleh pemerintah ? bukankah ini pengrusakan mental
terencana yang hendak dijalankan pemerintah ?
Satu-satunya perbedaan
antara nyeri yang disebabkan oleh pengobatan kanker dan penghapusan subsidi BBM
adalah bahwa mekanisme yang menyebabkan pengobatan kanker menghasilkan efek
samping nyeri hingga kini belum bisa dijelaskan dengan sempurna sehingga belum
mampu ditangani dengan baik. Sedangkan nyeri yang dihasilkan oleh penghapusan
subsidi BBM mekanismenya jelas terang benderang walau oleh orang awam seperti
kita. Para penelti-peneliti kebijakan ekonomi dinegara ini saya pikir sangat
banyak dan yakinku, pasti mampu memberikan saran pengobatan yang jitu dalam
menangani hal ini. Hanya dibutuhkan keinginan dan itikad baik dari pemerintah
untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan nyeri tersebut.
Baca selengkapnya world of miracle: Juni 2013